Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Kamis, 10 November 2011

JIM

Di kota kecil Carmel di Negara bagian New York, ada anak laki – laki bernama Jim Mackey. Saat itu Jim berusia 14 tahun, dalam masa peralihan dari bocah yang manis menjadi laki – laki sejati, dan salah satu “tought minded” sejati di dunia ini. Ia sepertinya dilahirkan secara alami untuk menjadi atlet, dan termasuk salah satu dari sejumlah kecil atlet terbaik. Namun, beberapa saat setelah mmemasuki sekolah menengah, ia mulai merasakan lumpuh kaki. Dengan cepat gejalanya menunjukkan ia terkena kanker. Operasi harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawanya, dan kaki Jim harus diamputasi. Setelah saat keluar dari rumah sakit, ia langsung dating ke sekolahnya dengan mengenakan kurk (alat bantu jalan) yang bertumpu di ketiak lengannya sebagai pengganti kaki yang masih di perban. Tanpa menunjukkan rasa sedih karena baru saja kehilangan kaki, remaja yang dulu bintang olahraga ini dengan riang hati berkisah tentang bagaimana ia akan mengenakan kaki palsu. “kemudian, saya akan bisa mengenakan kaos kaki dengan penjepit jempol. Kalian semua tidak akan bisa seperti itu , kan ?”

Saat musim keompetisi football dimulai, Jim mendatangi coach dan bertanya apakah ia boleh menjadi salah satu menajer tim. Untuk mewujudkan keinginan itu, berminggu – minggu Jim mendatangi tempat latihan, membawakan perlengkapan latihan, dan menginfus timnya dengan rasa percaya diri. Kehadirannya memberikan suasana positif di dalam tim. Hingga suatu sore ia tidak dating ke tempat latihan. Coach mencemaskan ketidakhadiran jim. Lalu, coach mendatangi rumah Jim dan mendapat kabar Jim berada di rumah sakit untuk mendapat pemeriksaan lain. Saat di rumah sakit, ia jadi tahu Jim juga menderita kanker paru stadium parah. Kata dokter, “Kondisi jim sulit dipulihkan, dan ia bisa saja meninggal dalam tempo enam bulan sejak sekarang.”

Orangtua Jim memutuskan untuk tidak bercerita tentang “vonis mati” yang sudah dijatuhkan dokter. Mereka berharap Jim tetap menjalani dan menikmati kehidupan senormal mungkin untuk hari – hari terakhirnya. Maka, Jim dibolehkan kembali berlatih di lapangan masih dengan antusiasme tinggi yang ia berikan pada teman – temannya. Dengandorongan inspirasi dari Jim, timnya bisa menjalani musim kompetisi tannpa terkalahkan. Untuk merayakannya, mereka sepakat menggelar acara makan bersama danJim menerima plakat football yang ditandatangani semua anggota tim. Sayangnya, acara makan bersama in tidak sesukses seperti yang dibayangkan. Jim tidak hadir. Ia terlalu lemah untuk hadir.

Beberapa pecan kemudian, Jim muncul lagi. Kali ini dalamlpertandingan bola basket. Wajahnya pucat, sangat pucat, dan badannya lemah. Meski demikian, ia tetap tampil seperti halnya jim yang ceria, penuh senyum, dan tawa, memancing gurauan dan memberikan inspirasi pada teman – teman lainnya. Setelah usainya pertandingan, ia dating ke ruang coach. Kebetulan, kala itu seluruh anggota tim football sedang ada disana. Coach denganlembut menngusap kepala Jim sambil bertanya mengapa tidak hadir dalam acara makan bersama. “ Saya sedang diet, coach,” jawab jim, dengan sedikit menyeringai utuk menyembunyikan rasa sakitnya. Lalu, salah seorang anggota tim menyerahkan plakat juara kompetisi football. “kami bisa memenangi ini karena kau, Jim,” kata pemain itu. Jim mengucapkan terima kasih dengan suara lirih dan setitik air mata meleleh ke pipinya. Lalu, mereka ramai membicarakan rencana – rencana musim berikutnya. Ketika pembicaraan usai dan sudah waktuya bubar, Jim pun bubar. Saat semua pemain sudah keluar, Jim d depan pintu berbalik arah. Sambil menatap coach, Jim berpamitan dengan ucapan lemah, tatapi mantap , “Selamat tinggal, coach.”
“Maksunya, sampai jumpa lagi, Jim ?” si coach balik bertanya.
Mata Jim kembali menyala, dan bibirnya berkulum senyum, “jangan khawatir, coach. Saya sudah siap.” Setelah itu, Jim menghilang.
Dua hari kemudian Jim meninggal.

Meski orangtuanya bungkam, dan coach juga tutup mulut, Jim sudah tahu lama atas vonis mati yang diucapkan dokter. Bahkansebelum masuk rumah sakit pun ia sudah merasa umurnnya bakal pendek. Namun, ia bersiap menghadapi semua itu.

Ia memang type orang yang berpikiran positif dan tough minded. Ia menjadikan fakta tragis dan menyedihkan yang menimpa dirinya itu menjadi pengalaman yang kreati dan menyenangkan banyak orang.


Mungkin banyak orang berargumen Jim tetap saja mati dan karakternya sebagai pemikir positif tidak banyak berarti. Aragumentasi demikian tidak benar. Jim tahu benar bagaimana meraih keimanan dan bagaimana menciptakan suatu yang lebih hangat, menyenangkan dan membangkitkan semangat dari situasi – situasi yang lebih buruk. Ia tidakseperti burung onta yang mengubur kepalanya di pasi saat ada ancaman. Ia tahu betul sesuatu yang menggerogoti tubuhnya, tetapi ia mmemilih untuk tidak mau dikalahkan begitu saja. Sejatinya, Jim memang tidak pernah dikalahkan. Jim memanfaatkan kehidupannya sependek apapun, dan menggunakannya untuk membangkitkan keyakinan, keberanian, kebahagiaan secara permanen pada orang – orang yang dikenalnya. Nah, cobalah Anda pikir baik - baik, bisakah Anda menyatakan orang berhasil melakukan seperti itu sebagai orang yang gagal dan kalah ? itu tentang keteguhan pikiran. Itu tentang kesadaran untuk tidak mau dikalahkan. Itu yang akan menentukan kehidupan Anda.


NORMAN VINCENT PEALE (the amazing result of positif thinking)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar